PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Tanah merupakan faktor
penting dalam kehidupan manusia. Sepanjang hidup manusia bahkan hingga
berpulang menghadap Yang Maha Kuasa, manusia tidak bisa dipisahkan dengan
tanah. Oleh karenanya, sesuai dengan konsepsi Hukum Tanah Nasional yang
bersifat Komunalistik Religius, Bangsa Indonesia meyakini bahwa seluruh tanah
yang terdapat di wilayah Republik Indonesia adalah Karunia Tuhan Yang Maha Esa,
yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah
yang bersifat pribadi sekaligus kebersamaan. Hukum Tanah Nasional kita diawali
dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
UUPA mengenal hak atas tanah
yang primer dan hak atas tanah yang sekunder. Ragam hak atas tanah primer telah
dikenal dan akrab dengan tugas kewenangan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT). Akan tetapi di samping hak atas tanah yang primer, yang meliputi
Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, UUPA juga
menetapkan hak atas tanah yang sekunder yang didasarkan pada perjanjian
pemberian hak antara pemilik tanah dengan calon pemegang hak yang bersangkutan.
Hak atas tanah sekunder tersebut di antaranya adalah Hak Guna Bangunan (atas
tanah Hak Milik) dan Hak Pakai (atas tanah Hak Milik).
Pembebanan Hak Guna
Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik ini dalam praktek masih jarang ditemui.
Akan tetapi di beberapa daerah, seperti di Bali dan Lombok, hal tersebut
Hak milik dapat diartikan
sebagai hak yang dapat diwariskan secara turun temurun secara terus menerus
dengan tidak harus memohon haknya kembali apabila terjadi perpindahan hak. Hak
milik diartikan sebagai hak yang terkuat diantara hak-hak yang ada dalam pasal
570 KUHPerdata, hak milik diartikan sebagai hak untuk menikmati kegunaan
sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan
itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan.
Dalam undang-undang pokok
agraria, pengertian hak milik seperti yang dirumuskan dalam pasal 20 UUPA. Hak
milik adalah hak yang ”terkuat dan terpenuhi ” yang dipunyai orang atas tanah.
Kata-kata “terkuat dan terpenuhi” itu bermaksud untuk membedakan dengan hak
guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan lain-lain yaitu untuk menunjukkan
diantara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang hak miliklah yang ter
(artinya paling ) kuat dan terpenuhi.
Hak Pakai Adalah hak untuk
menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya.Objek hak pakai :
tanah untuk pertanian dan bukan pertanian, tanah Negara, tanah hak
pengelolaan.Subjek Hak pakai adalah warga Negara Indonesia, warga negara asing
yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum Indonesia, badan hukum asing yang
mempunyai kantor perwakilan di Indonesia, perwakilan asing serta badan-badan
pemerintah. Janka waktu hak pakai maksimum 25 tahun dan dapat diperpanjang
maksimum 20 tahun lagi.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian Hukum Agraris?
2. Bagaimanakah Pemberian Hak Guna Bagunan atau Hak
Pakai atas Hak Milik ?
3. Bagaimanakah Pendaftaran Hak Guna Bangunan/Hak Pakai
atas Tanah Hak Milik ?
4. Bagaimanakah Pembebanan Hak Pakai atas Tanah Hak
Milik Dipandang Dari Perspektif Pemilikan Properti oleh Warga Negara Asing dan
Badan Hukum Asing ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi hukum agraria
2. Mengetahui bagaimana Pemberian Hak Guna Bagunan atau
Hak Pakai atas Hak Milik
3. Mengetahui bagaimana Pendaftaran Hak Guna Bangunan/Hak
Pakai atas Tanah Hak Milik
4. Mengetahui bagaimana Pembebanan Hak Pakai atas Tanah
Hak Milik Dipandang Dari Perspektif Pemilikan Properti oleh Warga Negara Asing
dan Badan Hukum Asing ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Hukum Agraria
Hukum agraria ialah suatu
hukum yang mengatur prihal tanah beserta segala seluk-beluknya yang ada
hubungannya dengan pertanahan, misalkan hal perairan, perikanan, perkebunan,
pertambangan dan sebagainya.
Adapun yang termasuk dalam
ruang lingkup hal pertanahan beserta segala beluk-beluknya tersebut, menurut
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria (UUPA)
secara terperinci dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. seluruh bumi, dalam arti disamping permukaan bumi
(yang disebut tanah), termasuk pada tubuh bumi di bawahnya serta bagian bumi
yang berada di bawah air;
2. seluruh air, dalam arti perairan, baik perairan
pedalaman maupun laut wilayah Republik Indonesia;
3. seluruh ruang angkasa, dalam arti ruang yang ada di
atas bumi;
4. sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung di dalam
bumi, yang disebut bahan-bahan galian atau sumber-seumber galian yang pada
daasarnya merupakan objek dari usaha-usaha industry, perrtambangan dan
sejenisnya;
5. sumber-sumber kekayaan alam yang tertkandung di
dalam air, baik perairan pedalaman maupun perairan laut wilayah Republik
Indonesia misalkan ikan dan sebangsanya, berbagai bangsa binatang laut lainnya,
garam, mutiara, dan sebagainya.
Dalam hal ini, hukum agraria merupakan salah satu
saranan pengejawantahan cita-cita nasional bagi kita semua, melalui hakikat dan
fungsinya yakni sebagai hukum yang:
1. menjaga keserasian antara alam dan manusia serta
mempertahankan keserasian kehidupan segala makhluk pengisi ala mini dalam
kehidupan alamiahnya yang lestari;
2. mengatur dan menjamin seluruh rakyat untuk sedapat
dan semerata mungkin memperoleh manfaat atas tanah-tanah yang ada di seluruh
wilayah Negara;
3. mengatur hak rakyat/pribad hukum tantra maupun
perdata untuk memanfaatkan sumber kekayaan alam yang ada berdasarkan kepentingan
dan kedudukan pribadi masing-masing;
4. mengatur segala kewajiban (rakyat/ pribadi hukum
tersebut) selaras dengan segala hak mereka yang berkenaan dengan tanah dan
penggunaannya;
5. memberikan batasan yang jelas mengenai tingkat
keadaan tanah yang ada berikut tingkatan hak dan kewajiban beserta segala
persyaratan dan harus diperhatikan oleh para pemegang dan para calon pemegang
hak dan kewajiban atas tanah yang bersangkutan;
6. menggariskan hak maksimal dan kewajiban minimal yang
harus dipenuhi oleh yang menggunakan tanah itu secara konsekuen dalam arti
tegas merata dan seimbang, demi tegaknya keadilan dalam bidang pertanahan di
seluruh negeri.
Hukum agraria merupakan suatu ilmu hukum yang
sebenarnya memilki artian sangat luas. Dalam bahsa latin sendiri agraria yang
disbut dengan ager yang memiliki arti tanah atau sebidang tanah. Namun dalam
bahsa latin yang sama agraria diartikan kedalam kata agrarius yang artinya
persawahan atau perladangan atau bahkan juga bisa pertanian. Jika kita
membelajarai kata agraria dalam kamus besar bahasa Indonesia agraria dinyatakan
kedalam arti yaitu suatu urusan pertanahan serta urusan kepemilikan atas tanah.
Dalam bahasa Inggris istilah agraria juga disebut dengan agrarian yang arinya
segala ururan pertanian. Dalam definisi yang sangat luas tadi ternyata
perlainan dengan pengertian agraria yang terdapat dan tertulis dalam
Undang-undang Pokok Agraria atau yang disebut dengan hukum agraria yang
memberikan arti agraria meliputi bumi, air, dan dalam batas-batas tertentu juga
ruang angkasa serta kekyaan alam yang terdapat dala isi alam ini.
Hukum agraria arti luas dapat kita temukan dalam
berbagai rumusan hukum agraria, baik dalam konsiderans, pasal dan penjelasannya
tadi sering kita sebut dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA NO.5/Tahun
1960).
Sebagai pedoman yang lebih kuat berikut ini
penjabaran arti kata hukum agraria dari beberapa ahli meliputi :
·
Gouwgiokssiong dalam Buku
Agrarian Law 1972, berpendapat dalam arti sempit yaitu hukum yang berhubungan
dan identik dengan tanah.
·
E. Utrecht, mendefinisikan
bahwa hukum agraria merupakan hukum tanah yang nantinya akan menjadi buku tata
usaha negara.
·
W.L.G Lemaire, hukum agraria
merupakan hukum pivat dari bagian hukum tata negara dan hukum administrasi
negra.
·
Bachsan Mustafa, SH, memberikan
pengertian bahwa hukum agraria adalah sebagai himpunan peraturan yang mengatur
bagaimana para pejabat pemerintah menjalankan tugas di bidang keagrariaan.
·
Dan Boedi Harsono,
memberikan pengertian terhadap hukum agraria bahwa hukum agraria bukan hanya
satu perangkat bidang hukum semata. Hukum agraria merupakan satu kelompok
berbagai bidang hukum yang mengatur penguasaan atas berbagai sumber daya alam
tertentu yang termasuk di dalam pengertian agraria.
Dari pengertian serta penjabaran yang telah dilakukan
di atas kita mengerti dan memahami bahwa hukum agraria akan bermanfaat baik
dari artian yang sempit maupun artian yang luas. Yang dijadikan sebagai sumber
hukum dari hukum agraria tak lain ialah Undang-Undang Dasar 45.
Sumber hukum tersebut tertulis pada pasal 33 ayat
(3) yang menyatakan bahwa: “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran
rakyat”.
Sumber hukum agraria tertulis berikutnya adalah
Undang-Undang Pokok Agraria, dimana Undang-undang ini dimuat dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, tertanggal 24 September 1960
diundangkan dan dimuat dalam Lembaran Negara tahun 1960-140, dan penjelasannya
dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara nomor 2043, kelak pada tanggal tersebut
diperingati sebagai hari tani nasional.
Sumber hukum agraria tertulis lainnya adalah
peraturan pelaksanaan UUPA dan peraturan yang mengatur soal-soal yang tidak
diwajibkan tetapi diperlukan dalam praktek. Selain juga peraturan lama, tetapi
dengan syarat tertentu berdasakan peraturan atau pasal peralihan yang masih
berlaku. Sedang sumber hukum agraria yang tidak tertulis ialah kebiasaan baru
yang timbul sesudah berlakunya.
2.2 Pemberian
Hak Guna Bangunan/ Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik
Proses pemberian Hak Guna
Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik diawali dengan pembuatan perjanjian
antara pemilik tanah dengan calon pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
Perjanjian tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 37 huruf b UUPA haruslah
berbentuk otentik dan dituangkan dalam akta PPAT yang berjudul: Akta Pemberian
Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik.
Sesuai dengan ketentuan
Pasal 97 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah (untuk selanjutnya disebut PMNA/Ka. BPN No. 3 Tahun 1997),
sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau pembebanan hak
atas tanah, PPAT wajib terlebih dahulu mengecek keabsahan dari sertipikat Hak
Milik yang bersangkutan pada Kantor Pertanahan setempat.
Oleh karena perbuatan hukum
pembebanan hak ini merupakan obyek Pajak Penghasilan (PPh) pengalihan hak atas
tanah dan bangunan dan obyek Bea Perolehan Hak atau Tanah dan Bangunan (BPHTB),
maka masing-masing pihak wajib membayar pajak-pajak dimaksud sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Pemberian Hak Guna
Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik dapat dilakukan terhadap seluruh tanah
Hak Milik atau sebagian dari tanah Hak Milik, hal mana disepakati para pihak
secara tegas dalam Akta PPAT.
Akta Pemberian Hak Guna
Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik tersebut memuat syarat-syarat yang
disepati oleh para pihak, yakni :
1. Jangka waktu pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai
atas tanah Hak Milik.
Peraturan Pemerintah Nomor
40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas
Tanah (untuk selanjutnya disebut PP 40 Tahun 1996) menetapkan Hak Guna Bangunan
atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun.
Sedangkan Hak Pakai atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling
lama 25 tahun. Jangka waktu tersebut tidak dapat diperpanjang, akan tetapi atas
kesepakatan antara para pihak, pembebanan hak tersebut dapat diperbaharui
dengan pembuatan akta PPAT dan hak tersebut wajib didaftarkan.
Permasalahannya, dengan
jangka waktu terbatas dan tidak dapat diperpanjang, apakah pemberian Hak Guna
Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik menguntungkan bagi para
investor/penanam modal, baik lokal maupun asing?
Bandingkan dengan jangka
waktu untuk tanah Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah negara dan Hak Guna
Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan yang dapat diperpanjang dan
diperbaharui haknya. Dan khusus untuk kepentingan penanaman modal, Pasal 28
juncto Pasal 48 PP 40 Tahun 1996 menetapkan, permintaan perpanjangan dan
pembaharuan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai dapat dilakukan sekaligus dengan
membayar uang pemasukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan
Hak Guna Bangunan/Hak Pakai. Dan dalam hal uang pemasukan telah dibayar
sekaligus, untuk perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai
hanya dikenakan biaya administrasi. Hal ini berarti investor dapat memperoleh
jaminan kepastian hukum atas jangka waktu penggunaan tanah Hak Guna Bangunan
selama 80 tahun dan untuk tanah Hak
Pakai selama 70 tahun dengan pembayaran uang pemasukan sekaligus di muka.
1. Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut memberi hak
kepada pemegang hak yang bersangkutan untuk mendirikan dan mempunyai bangunan
di atas tanah Hak Milik yang menjadi obyek pemberian hak sampai berakhirnya
jangka waktu Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut.
2. Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut tetap membebani
Hak Milik yang bersangkutan, walaupun Hak Milik itu telah beralih atau
dialihkan oleh pemegang Hak Milik kepada pihak lain, dan pemegang Hak Guna
Bangunan/Hak Pakai tersebut tetap dapat melaksanakan haknya sampai jangka waktu
Hak Guna Bangunan/Hak Pakai itu berakhir.
3. Dalam melaksanakan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai
tersebut, pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tidak diperbolehkan
menghilangkan tanda-tanda batas pada tanah Hak Milik yang menjadi obyek
pemberian hak dan tidak boleh membangun bangunan yang melintasi batas obyek
pemberian hak.
4. Dalam melaksanakan pembangunan, pemegang Hak Guna
Bangunan/Hak Pakai wajib memenuhi segala ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai pendirian bangunan dan rencana tata ruang wilayah serta wajib memiliki
ijin-ijin yang disyaratkan.
5. Pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan
yang berlaku menjadi tanggung jawab pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai yang
bersangkutan.
6. Pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai akan memelihara
dan mengelola bangunan, termasuk benda-benda serta sasarannya dengan sebaik-baiknya,
dan apabila ternyata ditelantarkan, maka yang bersangkutan menyerahkan dan
memberi kuasa kepada pemegang Hak Milik untuk mengelola dan memeliharanya
hingga jangka waktu pemberian haknya berakhir.
7. Pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tidak
diperkenankan menjual dan/atau dengan cara apapun mengalihkan hak yang
diperolehnya dan/atau bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut, tanpa
terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik.
8. Pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak
Milik tidak diperkenankan untuk mengagunkan/menjaminkan hak yang diperolehnya
dan/atau bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut, tanpa terlebih dahulu
memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik.
9. Khusus untuk Hak Pakai atas tanah Hak Milik,
sekalipun dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (untuk
selanjutnya disebut UU Hak Tanggungan) termasuk obyek hak tanggungan, namun
karena hingga saat ini belum ada Peraturan Pemerintah yang mengaturnya lebih
lanjut, sehingga belum bisa dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak
tanggungan.
10. Pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai wajib :
1) Mengosongkan bangunan yang ada di atas tanah Hak
Milik yang menjadi obyek pemberian hak dan menyerahkannya kepada pemegang Hak
Milik berikut bangunan dan segala sesuatu yang berdiri dan tertanam di atas
bidang tanah tersebut, tanpa pembayaran ganti rugi berupa apapun.
2) Membongkar bangunan yang ada di atas tanah Hak Milik
yang menjadi obyek pemberian hak dan menyerahkannya kembali kepada pemegang Hak
Milik seperti keadaan semula.
11. Bahwa mulai hari ditandatanganinya akta Pemberian
Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik tersebut, segala keuntungan
yang didapat dari, dan segala kerugian/beban atas obyek pemberian hak tersebut
menjadi hak/beban pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai.
12. Untuk itu pemegang Hak Milik menjamin bahwa obyek
pemberian hak tersebut tidak tersangkut dalam suatu sengketa, bebas dari
sitaan, tidak terikat sebagai jaminan untuk sesuatu utang yang tidak tercatat
dalam sertipikat dan bebas dari beban-beban lainnya yang berupa apapun.
Akta Pemberian Hak Guna
Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik tersebut wajib didaftarkan
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta
yang bersangkutan.
2.3 Pendaftaran
Hak Guna Bangunan/ Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik
Pendaftaran Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah
Hak Milik dilakukan pada Kantor Pertanahan setempat, dengan melampirkan :
1. Surat permohonan pendaftaran Hak Guna Bangunan/Hak
Pakai atas tanah Hak Milik;
2. Sertipikat Hak Milik;
3. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas
Tanah Negara yang dibuat di hadapan PPAT yang berwenang;
4. Identitas pemilik tanah Hak Milik dan pemegang Hak
Guna Bangunan/Hak Pakai;
5. Surat kuasa tertulis dari pemohon (kalau ada);
6. Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan, dalam hal bea tersebut terhutang;
7. Bukti pelunasan pembayaran Pajak Penghasilan, dalam
hal pajak tersebut terhutang.
Pendaftaran pembebanan hak tersebut dicatat dalam
buku tanah dan sertipikat Hak Milik yang bersangkutan dan selanjutnya
sertipikat Hak Milik dikembalikan kepada pemegang Hak Milik. Sedangkan untuk
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dibuatkan Buku Tanah dan Surat Ukur tersendiri
dan kepada pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai diterbitkan Sertipikat Hak Guna
Bangunan/Hak Pakai, yang di dalamnya disebutkan asal sertipikat Hak Milik.
2.4 Pembebanan
Hak Pakai atas Tanah Hak Milik Dipandang Dari Perspektif Pemilikan Properti
oleh Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing
Pada pertengahan tahun 1996,
tepatnya tanggal 17 Juni 1996, Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor
41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang
Asing yang Berkedudukan di Indonesia (untuk selanjutnya disebut PP 41 Tahun
1996). Setelah lebih dari 14 tahun berlaku, peraturan tersebut dirasa belum
mampu memacu minat orang asing untuk memiliki properti di Indonesia.
Pemerintah saat ini tengah
gencar melakukan upaya deregulasi dan debirokratisasi di bidang penanaman
modal, agar Indonesia masuk dalam jajaran negara berkembang yang mempunyai daya
tarik bagi para investor, terutama investor asing.
Dengan masuknya investor
asing ke Indonesia, maka banyak warga negara asing yang bekerja di Indonesia.
Di samping itu dengan telah diberlakukannya Peraturan Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Permohonan dan Tata Cara Permohonan
Penanaman Modal pada tanggal 2 Januari 2010 dan Peraturan Presiden Nomor 36
Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang
Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal pada tanggal 25 Mei 2010,
maka akan semakin banyak investor asing yang membutuhkan tanah dan properti
untuk kegiatan proyek usahanya.
Sehubungan dengan hal
tersebut, Kementerian Perumahan Rakyat telah menuntaskan Rancangan Peraturan
Pemerintah pengganti PP 41 Tahun 1996 (untuk selanjutnya disebut RPP). RPP ini
diharapkan bisa membuka lapangan kerja bagi warga lokal, meningkatkan arus
wisatawan, serta meningkatkan pasar perumahan Indonesia di luar negeri.
Hingga makalah ini dibuat,
RPP tersebut belum diundangkan, oleh karena masih menunggu disetujuinya
amandemen 2 (dua) Undang-Undang, yakni UU No 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman, dan UU No 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.
Oleh karenanya pembahasan
dalam makalah ini masih mengacu pada PP Nomor 41 Tahun 1996, Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan
Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing (selanjutnya disebut PMNA/Ka.
BPN 7 Tahun 1996) dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 8 Tahun
1996 tentang Perubahan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 7
Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh
Orang Asing (untuk selanjutnya disebut PMNA/Ka. BPN 8 Tahun 1996) dikaitkan
dengan RPP yang saat ini sedang digodog.
Pemilikan rumah tempat
tinggal atau hunian oleh orang asing dapat dilakukan dengan cara :
1. Membeli tanah Hak Pakai atas tanah Negara berikut
rumah yang ada di atasnya dengan membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) untuk tanah dan bangunan yang besangkutan sesuai ketentuan
yang berlaku;
2. Membeli tanah Hak Pakai atas tanah Negara dengan
membayar BPHTB tanah dan kemudian membangun sendiri rumah di atasnya, dengan
syarat mengurus Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan membayar Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) Bangunan;
3. Membeli tanah Hak Pakai atas tanah Hak Milik dari
pemegang Hak Pakai (setelah memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang Hak
Milik) berikut rumah yang ada di atasnya dengan membayar BPHTB tanah dan
bangunan;
4. Membeli tanah Hak Pakai atas tanah Hak Milik dari
pemegang Hak Pakai (setelah memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang Hak
Milik) dengan membayar BPHTB tanah dan kemudian membangun sendiri rumah di
atasnya, dengan syarat mengurus IMB dan membayar PPN Bangunan;
5. Memperoleh Hak Pakai atas tanah Hak Milik dari
pemegang Hak Milik berdasarkan perjanjian, berikut rumah yang ada di atasnya
dengan membayar BPHTB tanah dan bangunan;
6. Memperoleh Hak Pakai atas tanah Hak Milik dari
pemegang Hak Milik berdasarkan perjanjian, dengan membayar BPHTB tanah dan
kemudian membangun sendiri rumah di atasnya, dengan syarat mengurus IMB dan
membayar PPN Bangunan;
7. Memperoleh Hak Sewa untuk Bangunan (HSUB).
Sekalipun UUPA mengatur HSUB
dalam Pasal 44 dan 45, namun hingga saat ini belum ada satupun peraturan
pelaksana yang mengatur hak tersebut. Hal ini berpotensi besar terhadap
timbulnya penyelundupan hukum.
HSUB adalah Hak Pakai yang
mempunyai sifat khusus. Seperti halnya Hak Pakai, subyek HSUB adalah warga
negara Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum
Indonesia dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. HSUB
adalah hak yang diberikan kepada orang/badan hukum untuk mendirikan bangunan di
atas tanah Hak Milik kepunyaan orang lain yang diserahkan dalam kondisi kosong,
dengan pembayaran sejumlah uang kepada pemegang Hak Milik. Pemberian HSUB
dibuktikan dengan akta sewa tanah yang dibuat di hadapan Notaris atau PPAT. Hak
ini tidak termasuk hak atas tanah yang wajib didaftarkan, tidak dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan dan hanya dapat beralih dengan
persetujuan pemegang Hak Milik.
RPP pengganti PP 41 Tahun
1996 mengatur pula HSUB. Hanya dalam RPP tersebut HSUB dapat diberikan di atas
tanah Hak Milik maupun di atas tanah Hak Pengelolaan. Untuk melindungi pemberi
Hak Sewa di atas tanah Hak Milik, jangka waktu pemberian hak sewa disesuiakan
dengan masa konstruksi bangunan yang ditetapkan oleh instansi Pemerintah atau
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dan paling lama 50 (lima puluh)
tahun.Dalam hal masa konstruksi lebih dari 50 (lima puluh) tahun, maka dapat
diperbaharui haknya 1 (satu) kali, dengan jangka waktu paling lama 25 (dua
puluh lima) tahun. Sedangkan jangka waktu pemberian Hak Sewa di atas tanah Hak
Pengelolaan paling lama 75 (tujuh puluh lima) tahun dan tidak dapat
diperpanjang dan diperbaharui.
1. Membeli Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang
dibangun di atas tanah Hak Pakai atas Tanah Negara, dengan membayar BPHTB untuk
tanah dan bangunan.
Pembebanan Hak Pakai atas
Tanah Hak Milik untuk orang asing diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b PP 41
Tahun 1996 juncto Pasal 2 ayat (1) huruf a PMNA/Ka. BPN 7 Tahun 1996. Pembebanan tersebut didasarkan pada
perjanjian tertulis antara orang asing yang bersangkutan dengan pemegang Hak
Milik, yang dibuat dengan Akta PPAT.
Perjanjian tersebut dibuat
untuk jangka waktu yang disepakati, tetapi tidak boleh lebih lama dari 25 (dua
puluh lima) tahun. Jangka waktu tersebut tidak bisa diperpanjang. Sepanjang
orang asing yang bersangkutan masih berkedudukan di Indonesia, jangka waktu Hak
Pakai dapat diperbaharui untuk jangka waktu tidak lebih dari 25 (dua puluh
lima) tahun, yang dibuat atas dasar kesepakatan dan dituangkan dalam perjanjian
yang baru.
Apabila orang asing tersebut
sudah tidak lagi berkedudukan di Indonesia, maka dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak atas rumah dan tanahnya kepada
pihak lain yang memenuhi syarat.
Dalam hal lewat jangka waktu
tersebut, hak atas tanah berikut rumah tersebut belum dilepaskan atau dialihkan
kepada pihak lain, maka rumah tersebut menjadi milik pemegang Hak Milik.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Tanah
sangat vital peranannya bagi semua kehidupan di bumi karena tanah mendukung
kehidupan tumbuhan dengan menyediakan hara dan air sekaligus sebagai penopang
akar. Struktur tanah yang berongga-rongga juga menjadi tempat yang baik bagi
akar untuk bernafas dan tumbuh. Tanah juga menjadi habitat hidup berbagai
mikroorganisme. Bagi sebagian besar hewan darat, tanah menjadi lahan untuk
hidup dan bergerak.
Hukum
agraria dalam ialah keseluruhan kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak
tertulis yang mengatur mengenai bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga
ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.Hukum agraria
memberi lebih banyak keleluasaan untuk mencakup pula di dalamnya berbagai hal
yang mempunyai hubungan pula dengannya, tetapi tidak melulu mengenai tanah.
Dimuat
dalam Konsideran UUPA, Pasal 33 (3) dijadikan dasar hukum bagi pembentukan UUPA
dan merupakan sumber hukum (materiil) bagi pengaturannya.“bahwa hukum agraria
tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5
Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik
Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17
Agustus 1960, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan
memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan
maupun secara gotong-royong”
3.2 Saran
Tentu makalah ini masih jauh dari sempurna dan masih
banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi
perbaikan kedepannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Harsono,
Boedi. 2004. Hukum Agraria Indonesia.
Djambatan.
Koeswahyono,
Imam. 2007. Hukum Agraria Indonesia
Dalam Perspektif Sejarah. Refika Aditama.
Muljadi,
Kartini. 2005. Hak-hak Atas
Tanah.
Jakarta: Prenada Media.
Parlindungan,
A.P. 1987. Beberapa Masalah Dalam
UUPA.
Bandung; Alumni.
Parlindungan,
A.P. 1990. Pendaftaran Tanah di
Indonesia.
Mandar Maju.
Ruchiyat,
Eddy. 2004. Politik Pertanahan
Nasional Sampai Orde Reformasi. Bandung: Alumni.
Soimin,
Soedharyo. 2008. Status Hak dan Pembahasan Tanah.
Jakarta: Sinar Grafika.
Sutedi,
Adrian. 2011. Sertifikat Hak Atas
Tanah.
Jakarta: Sinar Grafika.
0 komentar:
Posting Komentar