Rabu, 05 Juli 2017

Hukum Agraria di Indonesia [Makalah]


BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Tanah merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia. Sepanjang hidup manusia bahkan hingga berpulang menghadap Yang Maha Kuasa, manusia tidak bisa dipisahkan dengan tanah. Oleh karenanya, sesuai dengan konsepsi Hukum Tanah Nasional yang bersifat Komunalistik Religius, Bangsa Indonesia meyakini bahwa seluruh tanah yang terdapat di wilayah Republik Indonesia adalah Karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus kebersamaan. Hukum Tanah Nasional kita diawali dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

UUPA mengenal hak atas tanah yang primer dan hak atas tanah yang sekunder. Ragam hak atas tanah primer telah dikenal dan akrab dengan tugas kewenangan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Akan tetapi di samping hak atas tanah yang primer, yang meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, UUPA juga menetapkan hak atas tanah yang sekunder yang didasarkan pada perjanjian pemberian hak antara pemilik tanah dengan calon pemegang hak yang bersangkutan. Hak atas tanah sekunder tersebut di antaranya adalah Hak Guna Bangunan (atas tanah Hak Milik) dan Hak Pakai (atas tanah Hak Milik).
Pembebanan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik ini dalam praktek masih jarang ditemui. Akan tetapi di beberapa daerah, seperti di Bali dan Lombok, hal tersebut
Hak milik dapat diartikan sebagai hak yang dapat diwariskan secara turun temurun secara terus menerus dengan tidak harus memohon haknya kembali apabila terjadi perpindahan hak. Hak milik diartikan sebagai hak yang terkuat diantara hak-hak yang ada dalam pasal 570 KUHPerdata, hak milik diartikan sebagai hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan.
Dalam undang-undang pokok agraria, pengertian hak milik seperti yang dirumuskan dalam pasal 20 UUPA. Hak milik adalah hak yang ”terkuat dan terpenuhi ” yang dipunyai orang atas tanah. Kata-kata “terkuat dan terpenuhi” itu bermaksud untuk membedakan dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan lain-lain yaitu untuk menunjukkan diantara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang hak miliklah yang ter (artinya paling ) kuat dan terpenuhi.
Hak Pakai Adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya.Objek hak pakai : tanah untuk pertanian dan bukan pertanian, tanah Negara, tanah hak pengelolaan.Subjek Hak pakai adalah warga Negara Indonesia, warga negara asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum Indonesia, badan hukum asing yang mempunyai kantor perwakilan di Indonesia, perwakilan asing serta badan-badan pemerintah. Janka waktu hak pakai maksimum 25 tahun dan dapat diperpanjang maksimum 20 tahun lagi.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Hukum Agraris?
2.      Bagaimanakah Pemberian Hak Guna Bagunan atau Hak Pakai atas Hak Milik ?
3.      Bagaimanakah Pendaftaran Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik ?
4.      Bagaimanakah Pembebanan Hak Pakai atas Tanah Hak Milik Dipandang Dari Perspektif Pemilikan Properti oleh Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing ?

1.3  Tujuan
1.      Mengetahui definisi hukum agraria
2.      Mengetahui bagaimana Pemberian Hak Guna Bagunan atau Hak Pakai atas Hak Milik
3.      Mengetahui bagaimana Pendaftaran Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik
4.      Mengetahui bagaimana Pembebanan Hak Pakai atas Tanah Hak Milik Dipandang Dari Perspektif Pemilikan Properti oleh Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing ?





BAB II
PEMBAHASAN


2.1  Definisi Hukum Agraria
Hukum agraria ialah suatu hukum yang mengatur prihal tanah beserta segala seluk-beluknya yang ada hubungannya dengan pertanahan, misalkan hal perairan, perikanan, perkebunan, pertambangan dan sebagainya.
Adapun yang termasuk dalam ruang lingkup hal pertanahan beserta segala beluk-beluknya tersebut, menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) secara terperinci dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.       seluruh bumi, dalam arti disamping permukaan bumi (yang disebut tanah), termasuk pada tubuh bumi di bawahnya serta bagian bumi yang berada di bawah air;
2.       seluruh air, dalam arti perairan, baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Republik Indonesia;
3.       seluruh ruang angkasa, dalam arti ruang yang ada di atas bumi;
4.       sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi, yang disebut bahan-bahan galian atau sumber-seumber galian yang pada daasarnya merupakan objek dari usaha-usaha industry, perrtambangan dan sejenisnya;
5.       sumber-sumber kekayaan alam yang tertkandung di dalam air, baik perairan pedalaman maupun perairan laut wilayah Republik Indonesia misalkan ikan dan sebangsanya, berbagai bangsa binatang laut lainnya, garam, mutiara, dan sebagainya.
Dalam hal ini, hukum agraria merupakan salah satu saranan pengejawantahan cita-cita nasional bagi kita semua, melalui hakikat dan fungsinya yakni sebagai hukum yang:
1.      menjaga keserasian antara alam dan manusia serta mempertahankan keserasian kehidupan segala makhluk pengisi ala mini dalam kehidupan alamiahnya yang lestari;
2.      mengatur dan menjamin seluruh rakyat untuk sedapat dan semerata mungkin memperoleh manfaat atas tanah-tanah yang ada di seluruh wilayah Negara;
3.      mengatur hak rakyat/pribad hukum tantra maupun perdata untuk memanfaatkan sumber kekayaan alam yang ada berdasarkan kepentingan dan kedudukan pribadi masing-masing;
4.      mengatur segala kewajiban (rakyat/ pribadi hukum tersebut) selaras dengan segala hak mereka yang berkenaan dengan tanah dan penggunaannya;
5.      memberikan batasan yang jelas mengenai tingkat keadaan tanah yang ada berikut tingkatan hak dan kewajiban beserta segala persyaratan dan harus diperhatikan oleh para pemegang dan para calon pemegang hak dan kewajiban atas tanah yang bersangkutan;
6.      menggariskan hak maksimal dan kewajiban minimal yang harus dipenuhi oleh yang menggunakan tanah itu secara konsekuen dalam arti tegas merata dan seimbang, demi tegaknya keadilan dalam bidang pertanahan di seluruh negeri.

Hukum agraria merupakan suatu ilmu hukum yang sebenarnya memilki artian sangat luas. Dalam bahsa latin sendiri agraria yang disbut dengan ager yang memiliki arti tanah atau sebidang tanah. Namun dalam bahsa latin yang sama agraria diartikan kedalam kata agrarius yang artinya persawahan atau perladangan atau bahkan juga bisa pertanian. Jika kita membelajarai kata agraria dalam kamus besar bahasa Indonesia agraria dinyatakan kedalam arti yaitu suatu urusan pertanahan serta urusan kepemilikan atas tanah.
Dalam bahasa Inggris istilah agraria  juga disebut dengan agrarian yang arinya segala ururan pertanian. Dalam definisi yang sangat luas tadi ternyata perlainan dengan pengertian agraria yang terdapat dan tertulis dalam Undang-undang Pokok Agraria atau yang disebut dengan hukum agraria yang memberikan arti agraria meliputi bumi, air, dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekyaan alam yang terdapat dala isi alam ini.
Hukum agraria arti luas dapat kita temukan dalam berbagai rumusan hukum agraria, baik dalam konsiderans, pasal dan penjelasannya tadi sering kita sebut dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA NO.5/Tahun 1960).
Sebagai pedoman yang lebih kuat berikut ini penjabaran arti kata hukum agraria dari beberapa ahli meliputi :
·         Gouwgiokssiong dalam Buku Agrarian Law 1972, berpendapat dalam arti sempit yaitu hukum yang berhubungan dan identik dengan tanah.
·         E. Utrecht, mendefinisikan bahwa hukum agraria merupakan hukum tanah yang nantinya akan menjadi buku tata usaha negara.
·         W.L.G Lemaire, hukum agraria merupakan hukum pivat dari bagian hukum tata negara dan hukum administrasi negra.
·         Bachsan Mustafa, SH, memberikan pengertian bahwa hukum agraria adalah sebagai himpunan peraturan yang mengatur bagaimana para pejabat pemerintah menjalankan tugas di bidang keagrariaan.
·         Dan Boedi Harsono, memberikan pengertian terhadap hukum agraria bahwa hukum agraria bukan hanya satu perangkat bidang hukum semata. Hukum agraria merupakan satu kelompok berbagai bidang hukum yang mengatur penguasaan atas berbagai sumber daya alam tertentu yang termasuk di dalam pengertian agraria.
Dari pengertian serta penjabaran yang telah dilakukan di atas kita mengerti dan memahami bahwa hukum agraria akan bermanfaat baik dari artian yang sempit maupun artian yang luas. Yang dijadikan sebagai sumber hukum dari hukum agraria tak lain ialah Undang-Undang Dasar 45.
Sumber hukum tersebut tertulis pada pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa: “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Sumber hukum agraria tertulis berikutnya adalah Undang-Undang Pokok Agraria, dimana Undang-undang ini dimuat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang  Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, tertanggal 24 September 1960 diundangkan dan dimuat dalam Lembaran Negara tahun 1960-140, dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara nomor 2043, kelak pada tanggal tersebut diperingati sebagai hari tani nasional.
Sumber hukum agraria tertulis lainnya adalah peraturan pelaksanaan UUPA dan peraturan yang mengatur soal-soal yang tidak diwajibkan tetapi diperlukan dalam praktek. Selain juga peraturan lama, tetapi dengan syarat tertentu berdasakan peraturan atau pasal peralihan yang masih berlaku. Sedang sumber hukum agraria yang tidak tertulis ialah kebiasaan baru yang timbul sesudah berlakunya.

2.2  Pemberian Hak Guna Bangunan/ Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik
Proses pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik diawali dengan pembuatan perjanjian antara pemilik tanah dengan calon pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Perjanjian tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 37 huruf b UUPA haruslah berbentuk otentik dan dituangkan dalam akta PPAT yang berjudul: Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 97 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang  Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (untuk selanjutnya disebut PMNA/Ka. BPN No. 3 Tahun 1997), sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau pembebanan hak atas tanah, PPAT wajib terlebih dahulu mengecek keabsahan dari sertipikat Hak Milik yang bersangkutan pada Kantor Pertanahan setempat.
Oleh karena perbuatan hukum pembebanan hak ini merupakan obyek Pajak Penghasilan (PPh) pengalihan hak atas tanah dan bangunan dan obyek Bea Perolehan Hak atau Tanah dan Bangunan (BPHTB), maka masing-masing pihak wajib membayar pajak-pajak dimaksud sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik dapat dilakukan terhadap seluruh tanah Hak Milik atau sebagian dari tanah Hak Milik, hal mana disepakati para pihak secara tegas dalam Akta PPAT.
Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik tersebut memuat syarat-syarat yang disepati oleh para pihak, yakni :
1.      Jangka waktu pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah (untuk selanjutnya disebut PP 40 Tahun 1996) menetapkan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun. Sedangkan Hak Pakai atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Jangka waktu tersebut tidak dapat diperpanjang, akan tetapi atas kesepakatan antara para pihak, pembebanan hak tersebut dapat diperbaharui dengan pembuatan akta PPAT dan hak tersebut wajib didaftarkan.
Permasalahannya, dengan jangka waktu terbatas dan tidak dapat diperpanjang, apakah pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik menguntungkan bagi para investor/penanam modal, baik lokal maupun asing?
Bandingkan dengan jangka waktu untuk tanah Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah negara dan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan yang dapat diperpanjang dan diperbaharui haknya. Dan khusus untuk kepentingan penanaman modal, Pasal 28 juncto Pasal 48 PP 40 Tahun 1996 menetapkan, permintaan perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai. Dan dalam hal uang pemasukan telah dibayar sekaligus, untuk perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai hanya dikenakan biaya administrasi. Hal ini berarti investor dapat memperoleh jaminan kepastian hukum atas jangka waktu penggunaan tanah Hak Guna Bangunan selama 80 tahun dan untuk  tanah Hak Pakai selama 70 tahun dengan pembayaran uang pemasukan sekaligus di muka.
1.      Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut memberi hak kepada pemegang hak yang bersangkutan untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah Hak Milik yang menjadi obyek pemberian hak sampai berakhirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut.
2.      Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut tetap membebani Hak Milik yang bersangkutan, walaupun Hak Milik itu telah beralih atau dialihkan oleh pemegang Hak Milik kepada pihak lain, dan pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut tetap dapat melaksanakan haknya sampai jangka waktu Hak Guna Bangunan/Hak Pakai itu berakhir.
3.      Dalam melaksanakan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut, pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tidak diperbolehkan menghilangkan tanda-tanda batas pada tanah Hak Milik yang menjadi obyek pemberian hak dan tidak boleh membangun bangunan yang melintasi batas obyek pemberian hak.
4.      Dalam melaksanakan pembangunan, pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai wajib memenuhi segala ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pendirian bangunan dan rencana tata ruang wilayah serta wajib memiliki ijin-ijin yang disyaratkan.
5.      Pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku menjadi tanggung jawab pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai yang bersangkutan.
6.      Pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai akan memelihara dan mengelola bangunan, termasuk benda-benda serta sasarannya dengan sebaik-baiknya, dan apabila ternyata ditelantarkan, maka yang bersangkutan menyerahkan dan memberi kuasa kepada pemegang Hak Milik untuk mengelola dan memeliharanya hingga jangka waktu pemberian haknya berakhir.
7.      Pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tidak diperkenankan menjual dan/atau dengan cara apapun mengalihkan hak yang diperolehnya dan/atau bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut, tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik.
8.      Pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik tidak diperkenankan untuk mengagunkan/menjaminkan hak yang diperolehnya dan/atau bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut, tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik.
9.      Khusus untuk Hak Pakai atas tanah Hak Milik, sekalipun dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (untuk selanjutnya disebut UU Hak Tanggungan) termasuk obyek hak tanggungan, namun karena hingga saat ini belum ada Peraturan Pemerintah yang mengaturnya lebih lanjut, sehingga belum bisa dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
10.  Pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai wajib :
1)      Mengosongkan bangunan yang ada di atas tanah Hak Milik yang menjadi obyek pemberian hak dan menyerahkannya kepada pemegang Hak Milik berikut bangunan dan segala sesuatu yang berdiri dan tertanam di atas bidang tanah tersebut, tanpa pembayaran ganti rugi berupa apapun.
2)      Membongkar bangunan yang ada di atas tanah Hak Milik yang menjadi obyek pemberian hak dan menyerahkannya kembali kepada pemegang Hak Milik seperti keadaan semula.
11.  Bahwa mulai hari ditandatanganinya akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik tersebut, segala keuntungan yang didapat dari, dan segala kerugian/beban atas obyek pemberian hak tersebut menjadi hak/beban pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai.
12.  Untuk itu pemegang Hak Milik menjamin bahwa obyek pemberian hak tersebut tidak tersangkut dalam suatu sengketa, bebas dari sitaan, tidak terikat sebagai jaminan untuk sesuatu utang yang tidak tercatat dalam sertipikat dan bebas dari beban-beban lainnya yang berupa apapun.
Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik tersebut wajib didaftarkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan.



2.3  Pendaftaran Hak Guna Bangunan/ Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik
Pendaftaran Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik dilakukan pada Kantor Pertanahan setempat, dengan melampirkan :
1.      Surat permohonan pendaftaran Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
2.      Sertipikat Hak Milik;
3.      Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Negara yang dibuat di hadapan PPAT yang berwenang;
4.      Identitas pemilik tanah Hak Milik dan pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai;
5.      Surat kuasa tertulis dari pemohon (kalau ada);
6.      Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dalam hal bea tersebut terhutang;
7.      Bukti pelunasan pembayaran Pajak Penghasilan, dalam hal pajak tersebut terhutang.
Pendaftaran pembebanan hak tersebut dicatat dalam buku tanah dan sertipikat Hak Milik yang bersangkutan dan selanjutnya sertipikat Hak Milik dikembalikan kepada pemegang Hak Milik. Sedangkan untuk Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dibuatkan Buku Tanah dan Surat Ukur tersendiri dan kepada pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai diterbitkan Sertipikat Hak Guna Bangunan/Hak Pakai, yang di dalamnya disebutkan asal sertipikat Hak Milik.

2.4  Pembebanan Hak Pakai atas Tanah Hak Milik Dipandang Dari Perspektif Pemilikan Properti oleh Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing
Pada pertengahan tahun 1996, tepatnya tanggal 17 Juni 1996, Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia (untuk selanjutnya disebut PP 41 Tahun 1996). Setelah lebih dari 14 tahun berlaku, peraturan tersebut dirasa belum mampu memacu minat orang asing untuk memiliki properti di Indonesia.
Pemerintah saat ini tengah gencar melakukan upaya deregulasi dan debirokratisasi di bidang penanaman modal, agar Indonesia masuk dalam jajaran negara berkembang yang mempunyai daya tarik bagi para investor, terutama investor asing.
Dengan masuknya investor asing ke Indonesia, maka banyak warga negara asing yang bekerja di Indonesia. Di samping itu dengan telah diberlakukannya Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Permohonan dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal pada tanggal 2 Januari 2010 dan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal pada tanggal 25 Mei 2010, maka akan semakin banyak investor asing yang membutuhkan tanah dan properti untuk kegiatan proyek usahanya.
Sehubungan dengan hal tersebut, Kementerian Perumahan Rakyat telah menuntaskan Rancangan Peraturan Pemerintah pengganti PP 41 Tahun 1996 (untuk selanjutnya disebut RPP). RPP ini diharapkan bisa membuka lapangan kerja bagi warga lokal, meningkatkan arus wisatawan, serta meningkatkan pasar perumahan Indonesia di luar negeri.
Hingga makalah ini dibuat, RPP tersebut belum diundangkan, oleh karena masih menunggu disetujuinya amandemen 2 (dua) Undang-Undang, yakni UU No 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, dan UU No 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.
Oleh karenanya pembahasan dalam makalah ini masih mengacu pada PP Nomor 41 Tahun 1996, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing (selanjutnya disebut PMNA/Ka. BPN 7 Tahun 1996) dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 8 Tahun 1996 tentang Perubahan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing (untuk selanjutnya disebut PMNA/Ka. BPN 8 Tahun 1996) dikaitkan dengan RPP yang saat ini sedang digodog.
Pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh orang asing dapat dilakukan dengan cara :
1.   Membeli tanah Hak Pakai atas tanah Negara berikut rumah yang ada di atasnya dengan membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk tanah dan bangunan yang besangkutan sesuai ketentuan yang berlaku;
2.   Membeli tanah Hak Pakai atas tanah Negara dengan membayar BPHTB tanah dan kemudian membangun sendiri rumah di atasnya, dengan syarat mengurus Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Bangunan;
3.   Membeli tanah Hak Pakai atas tanah Hak Milik dari pemegang Hak Pakai (setelah memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik) berikut rumah yang ada di atasnya dengan membayar BPHTB tanah dan bangunan;
4.   Membeli tanah Hak Pakai atas tanah Hak Milik dari pemegang Hak Pakai (setelah memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik) dengan membayar BPHTB tanah dan kemudian membangun sendiri rumah di atasnya, dengan syarat mengurus IMB dan membayar PPN Bangunan;
5.   Memperoleh Hak Pakai atas tanah Hak Milik dari pemegang Hak Milik berdasarkan perjanjian, berikut rumah yang ada di atasnya dengan membayar BPHTB tanah dan bangunan;
6.   Memperoleh Hak Pakai atas tanah Hak Milik dari pemegang Hak Milik berdasarkan perjanjian, dengan membayar BPHTB tanah dan kemudian membangun sendiri rumah di atasnya, dengan syarat mengurus IMB dan membayar PPN Bangunan;
7.   Memperoleh Hak Sewa untuk Bangunan (HSUB).
Sekalipun UUPA mengatur HSUB dalam Pasal 44 dan 45, namun hingga saat ini belum ada satupun peraturan pelaksana yang mengatur hak tersebut. Hal ini berpotensi besar terhadap timbulnya penyelundupan hukum.
HSUB adalah Hak Pakai yang mempunyai sifat khusus. Seperti halnya Hak Pakai, subyek HSUB adalah warga negara Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum Indonesia dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. HSUB adalah hak yang diberikan kepada orang/badan hukum untuk mendirikan bangunan di atas tanah Hak Milik kepunyaan orang lain yang diserahkan dalam kondisi kosong, dengan pembayaran sejumlah uang kepada pemegang Hak Milik. Pemberian HSUB dibuktikan dengan akta sewa tanah yang dibuat di hadapan Notaris atau PPAT. Hak ini tidak termasuk hak atas tanah yang wajib didaftarkan, tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan dan hanya dapat beralih dengan persetujuan pemegang Hak Milik.
RPP pengganti PP 41 Tahun 1996 mengatur pula HSUB. Hanya dalam RPP tersebut HSUB dapat diberikan di atas tanah Hak Milik maupun di atas tanah Hak Pengelolaan. Untuk melindungi pemberi Hak Sewa di atas tanah Hak Milik, jangka waktu pemberian hak sewa disesuiakan dengan masa konstruksi bangunan yang ditetapkan oleh instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dan paling lama 50 (lima puluh) tahun.Dalam hal masa konstruksi lebih dari 50 (lima puluh) tahun, maka dapat diperbaharui haknya 1 (satu) kali, dengan jangka waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun. Sedangkan jangka waktu pemberian Hak Sewa di atas tanah Hak Pengelolaan paling lama 75 (tujuh puluh lima) tahun dan tidak dapat diperpanjang dan diperbaharui.
1.     Membeli Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dibangun di atas tanah Hak Pakai atas Tanah Negara, dengan membayar BPHTB untuk tanah dan bangunan.
Pembebanan Hak Pakai atas Tanah Hak Milik untuk orang asing diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b PP 41 Tahun 1996 juncto Pasal 2 ayat (1) huruf a PMNA/Ka. BPN 7 Tahun  1996. Pembebanan tersebut didasarkan pada perjanjian tertulis antara orang asing yang bersangkutan dengan pemegang Hak Milik, yang dibuat dengan Akta PPAT.
Perjanjian tersebut dibuat untuk jangka waktu yang disepakati, tetapi tidak boleh lebih lama dari 25 (dua puluh lima) tahun. Jangka waktu tersebut tidak bisa diperpanjang. Sepanjang orang asing yang bersangkutan masih berkedudukan di Indonesia, jangka waktu Hak Pakai dapat diperbaharui untuk jangka waktu tidak lebih dari 25 (dua puluh lima) tahun, yang dibuat atas dasar kesepakatan dan dituangkan dalam perjanjian yang baru.
Apabila orang asing tersebut sudah tidak lagi berkedudukan di Indonesia, maka dalam jangka waktu 1 (satu) tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak atas rumah dan tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat.
Dalam hal lewat jangka waktu tersebut, hak atas tanah berikut rumah tersebut belum dilepaskan atau dialihkan kepada pihak lain, maka rumah tersebut menjadi milik pemegang Hak Milik.




BAB  III
PENUTUP

3.1     Kesimpulan
Tanah sangat vital peranannya bagi semua kehidupan di bumi karena tanah mendukung kehidupan tumbuhan dengan menyediakan hara dan air sekaligus sebagai penopang akar. Struktur tanah yang berongga-rongga juga menjadi tempat yang baik bagi akar untuk bernafas dan tumbuh. Tanah juga menjadi habitat hidup berbagai mikroorganisme. Bagi sebagian besar hewan darat, tanah menjadi lahan untuk hidup dan bergerak.
Hukum agraria dalam ialah keseluruhan kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.Hukum agraria memberi lebih banyak keleluasaan untuk mencakup pula di dalamnya berbagai hal yang mempunyai hubungan pula dengannya, tetapi tidak melulu mengenai tanah.
Dimuat dalam Konsideran UUPA, Pasal 33 (3) dijadikan dasar hukum bagi pembentukan UUPA dan merupakan sumber hukum (materiil) bagi pengaturannya.“bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong”

3.2     Saran
Tentu makalah ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA


Harsono, Boedi.  2004. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan.
Koeswahyono, Imam. 2007. Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah. Refika Aditama.
Muljadi, Kartini. 2005. Hak-hak Atas Tanah. Jakarta: Prenada Media.
Parlindungan, A.P. 1987. Beberapa Masalah Dalam UUPA. Bandung; Alumni.
Parlindungan, A.P. 1990. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Mandar Maju.
Ruchiyat, Eddy. 2004. Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi. Bandung: Alumni.
Soimin, Soedharyo.  2008. Status Hak dan Pembahasan Tanah. Jakarta: Sinar Grafika.
Sutedi, Adrian. 2011. Sertifikat Hak Atas Tanah. Jakarta: Sinar Grafika.


0 komentar:

Posting Komentar